Komisi I DPRD Provinsi Lampung Pelajari Pengakuan Hukum Adat di Provinsi Sumatera Barat

By Redaksi Jul 6, 2020

Sumatera Barat – Untuk menyusun Perda Pengakuan dan Perlindungan Hukum Adat Lampung, Komisi I DPRD Lampung melakukan studi banding dan sejumlah pengkajian. Salah satunya adalah dengan studi banding ke Sumatera Barat, 24 – 27 Juni 2020.

Kunjungan kerja ke Sumatera Barat tersebut dilakukan tujuh anggota Komisi I DPRD Lampung. Mereka antara lain menggali informasi dari Komisi I DPRD Sumatera Barat.

Ketua Komisi I DPRD Provinsi Lampung Yozi Rizal menyampaikan, kunjungan itu adalah untuk menggali bagaimana pelaksanaan sistem pemerintahan desa adat di Sumatera Barat.

“Sehingga nantinya juga bisa menjadi masukan untuk diterapkan di Provinsi Lampung,” kata Yozi, Senin (6/7/2020).

Menurut Yozi Rizal dalam kunker ke Sumatera Barat ada hal yang mendasar  terkait perbedaan antara masyarakat adat Minang di Sumatera Barat dengan masyarakat adat yang ada di Lampun. Hal itu karena perbedaan kultur dan sosilogisnya.

Di Sumatera Barat, kata Yozi, peran adat masih sangat kental di peradaban dan kehidupan masyarakat sehari-hari. Misalnya  dalam proses perkawinan dan kematian.

Selain itu, di setiap segi kehidupan disana peran nini mamak atau kepala adat sangat berpengaruh.

“Sedangkan di Lampung  kepala adat tidak berperan. Di Lampung tata guna hutan dan kesepakatan lahan hutan atau hak ulayat sudah tidak ada tetapi diminang hal ulayat masih kuat. Dalam praktik penyelengaraan negara dengan mengatasnamakan pembangunan, rumusan frase masyarakat pada prinsip negara kesatuan RI dimaknai bahwa kehadiran hak – hak masyarakat adat sebagai pranata yang diakui, sepanjang tidak bertentangan dengan pembagunan,”kata Yozi Rizal.

Ketua Komisi I DPRD Provinsi Sumatera Barat Syamsul Bahri dalam pertemuan tersebut menyampaikan bahwa pemerintahan nagari di Sumatera Barat secara umum dipayungi Perda nomor 7 tahun 2018 tentang Nagari.

Menurutnya, Perda ini sebagai payung bagi pemerintah kabupaten dan kota untuk membuat produk hukum yang mengatur lebih lanjut tentang penyelenggaraan pemerintahan nagari.

Perda tentang pemerintahan desa adat tersebut hanya mengatur secara umum. Selanjutnya, kabupaten dan kota di Sumatera Barat menyusun Perda yang disesuaikan dengan kondisi adat dan budaya di daerah masing – masing.

Untuk efektivitas penyelenggaraan pemerintahan nagari sesuai dengan Perda tersebut, kata Syamsul,  saat ini ada 10 nagari yang dijadikan percontohan.

“Nagari merupakan kesatuan masyarakat adat di Sumatera Barat yang telah lama juga dijadikan sebagai pemerintahan administrasi. Namun, pada masa orde baru, pemerintahan administrasi diseragamkan menjadi pemerintahan desa. Seiring dengan adanya UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, Provinsi Sumatera Barat kembali mengembalikan desa adat dengan sebutan nagari sebagai pemerintahan administrasi terendah sekaligus sebagai pemerintahan adat. Sehingga lahirlah Perda nomor 7 tahun 2018, yang telah dibahas sejak tahun 2015,” paparnya.

Secara garis besar, Perda Nagari mengatur tiga hal. Yaitu pemerintahan nagari, kerapatan adat nagari dan peradilan adat nagari. Lahirnya Perda tersebut diharapkan menguatkan kembali adat dan budaya serta peran unsur adat di dalam pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). (R/Sb/Al/Wh)